|
Manfaatkan Penghapusan Sanksi Pajak |
10 Juni 2015 |
Direktorat Jenderal Pajak telah mencanangkan tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak dengan motto "Reach the Unreachable, Touch the Untouchable". Presiden Joko Widodo meresmikan pencanangan Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015 di Istana Negara pada tanggal 29 April 2015 yang lalu.
Pihak-pihak yang akan dibina oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah kelompok Orang Pribadi atau Badan yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, kelompok Wajib Pajak terdaftar namun belum pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), serta kelompok Wajib Pajak terdaftar yang telah menyampaikan SPT namun belum sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Dalam rangka pembinaan tersebut, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015 tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat Pemberitahuan dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran Pajak.
Sanksi Administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapus berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 ini adalah Sanksi Administrasi yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya yang terbatas atas :
- Keterlambatan penyampaian SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya,
- Keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya,
- Keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya, dan/atau
- Pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan PPh untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,
yang dilakukan pada tahun 2015.
Dalam rangka mendapatkan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi tersebut, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Permohonan tersebut diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak Badan, dan tidak dapat dikuasakan. Satu surat permohonan untuk 1 Surat Tagihan Pajak.
Untuk mendapatkan informasi contoh format surat permohonan dan daftar dokumen yang harus dilampirkan, Wajib Pajak dapat menghubungi petugas Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak yang bertugas melayani konsultasi Wajib Pajak yang bersangkutan. Pelayanan perpajakan termasuk pengambilan formulir akan diberikan secara gratis, tanpa dipungut biaya.
Baca selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Agus Win pada 5:52 PM |
|
|
Tarif 1% untuk Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto tidak melebihi Rp 4,8 milyar |
27 September 2013 |
Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu diberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) huruf e dan Pasal 17 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut di antaranya yaitu atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap.
- Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 dalam 1 Tahun Pajak.
dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut adalah 1%. Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan jumlah peredaran bruto setiap bulan.
Peredaran bruto yang dimaksud merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada Butir 2 meliputi :
- Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.
- Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan / peragawati, pemain drama dan penari.
- Olahragawan.
- Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator.
- Pengarang, peneliti dan penerjemah.
- Agen iklan.
- Pengawas atau pengelola proyek.
- Perantara.
- Petugas penjaja barang dagangan.
- Agen asuransi.
- Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1% ini didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000,00 dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan 1% sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000,00 pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana peraturan ini, tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan ini dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini, maka ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Terdapat ketentuan bahwa atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain yang diberikan melalui Surat Keterangan Bebas. Surat Keterangan Bebas ini diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka melaksanakan ketentuan tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan tersebut, maka ditetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang Dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan ini diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak menyampaikan kewajiban SPT Tahunan dengan syarat :
- Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak sebelum tahun pajak diajukan permohonan, untuk Wajib Pajak yang telah terdaftar pada tahun pajak sebelum tahun pajak diajukannya Surat Keterangan Bebas.
- Menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai Pajak Penghasilan bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya Surat Keterangan Bebas, untuk Wajib Pajak yang terdaftar pada tahun pajak yang sama dengan tahun pajak saat diajukannya Surat Keterangan Bebas.
- Menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari instansi pemerintah atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
- Ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP.
Apabila Anda memerlukan bimbingan dan konsultasi masalah perpajakan, jangan segan-segan menghubungi petugas pajak yang telah ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk menjadi Account Representative (AR) bagi Anda. Pelayanan perpajakan akan diberikan secara gratis, tanpa dipungut biaya.
Informasi peraturan lebih detail silahkan dilihat di :
Baca selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Agus Win pada 10:50 AM |
|
|
PPh Pasal 21 atas Tunjangan Hari Raya (THR) |
29 Juli 2013 |
Lho, kok THR saya dipotong pajak ? Kan tidak rutin tiap bulan saya mendapatkan THR ? Bukannya cuma gaji saja yang dipotong pajak ? Begitulah pertanyaan yang mungkin terlontar dari teman-teman yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta pada saat menerima Tunjangan Hari Raya (THR) yang lazim terjadi di masa menjelang lebaran seperti saat ini. Dalam artikel ini saya akan membantu memberikan informasi perpajakan terkait dengan THR. Kalau kita simak di dalam Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012, di sana diatur bahwa salah satu penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Di Pasal 1 Angka 16 dijelaskan bahwa penghasilan pegawai tetap yang bersifat tidak teratur adalah penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur, yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi, atau imbalan sejenis lainnya dengan nama apapun. Lantas, berapa pajak yang dipotong dari THR ? Apabila kepada pegawai tetap diberikan penghasilan tidak teratur, dalam hal ini adalah THR, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan cara sebagai berikut : - Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan THR.
- Dihitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa THR.
- Selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan poin 1 dan poin 2 adalah PPh Pasal 21 atas THR.
Masih belum jelas ? Mari kita lihat contoh penghitungannya sebagai berikut. Joko Qurnain, status tidak kawin, bekerja pada PT Qolbu Jaya dengan memperoleh gaji sebesar Rp 2.500.000,00 sebulan. Pada bulan Maret 2013 Joko Qurnain menerima THR sebesar Rp 5.000.000,00 sehingga pada bulan Maret 2013 Joko Qurnain penghasilan berupa gaji sebesar Rp 2.500.000,00 dan THR sebesar Rp 5.000.000,00. Setiap bulannya Joko Qurnain membayar iuran pensiun ke Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 60.000,00. LANGKAH 1 : Hitung PPh Pasal 21 atas gaji dan THR (penghasilan setahun) : Gaji setahun (12 x Rp 2.500.000,00) | | Rp | | 30.000.000,00 |
T H R | | Rp | | 5.000.000,00 |
Penghasilan Bruto setahun (Gaji setahun + THR) | | Rp | | 35.000.000,00 |
| | | | |
Pengurangan : | | | | |
Biaya Jabatan (5% x Rp 35.000.000,00) | | Rp | | 1.750.000,00 |
Iuran Pensiun setahun (12 x Rp 60.000,00) | | Rp | | 720.000,00 |
| | | | |
Penghasilan Neto setahun | | Rp | | 32.530.000,00 |
| | | | |
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Status Tidak Kawin | | Rp | | 24.300.000,00 |
| | | | |
Penghasilan Kena Pajak | | Rp | | 8.230.000,00 |
| | | | |
PPh Pasal 21 terutang (5% x Rp 8.230.000,00) | | Rp | | 411.500,00 |
LANGKAH 2 : Hitung PPh Pasal 21 atas gaji setahun : Gaji setahun (12 x Rp 2.500.000,00) | | Rp | | 30.000.000,00 |
| | | | |
Pengurangan : | | | | |
Biaya Jabatan (5% x Rp 30.000.000,00) | | Rp | | 1.500.000,00 |
Iuran Pensiun setahun (12 x Rp 60.000,00) | | Rp | | 720.000,00 |
| | | | |
Penghasilan Neto setahun | | Rp | | 27.780.000,00 |
| | | | |
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Status Tidak Kawin | | Rp | | 24.300.000,00 |
| | | | |
Penghasilan Kena Pajak | | Rp | | 3.480.000,00 |
| | | | |
PPh Pasal 21 terutang (5% x Rp 3.480.000,00) | | Rp | | 174.000,00 |
LANGKAH 3 : PPh Pasal 21 atas THR adalah :
Rp 411.500,00 - Rp 174.000,00 = Rp 237.500,00 Masih belum jelas ? Apabila Anda memerlukan bimbingan dan konsultasi masalah perpajakan, jangan segan-segan menghubungi petugas pajak yang telah ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk menjadi Account Representative (AR) bagi Anda. Pelayanan perpajakan akan diberikan secara gratis, tanpa dipungut biaya.
Informasi peraturan lebih detail silahkan dilihat di :
Baca selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Agus Win pada 5:05 PM |
|
|
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas |
30 Mei 2013 |
Berdasarkan Pasal 11 Ayat (4) UU No.36 Th.2000 stdd UU No.44 Th.2007, pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberikan pembebasan Bea Masuk, pembebasan PPN, pembebasan PPnBM, dan pembebasan Cukai. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan dalam rangka melaksanakan ketentuan UU Kepabeanan dan UU PPN, pada tanggal 16 Januari 2009 Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah No.2 Th.2009 yang kemudian diatur kembali dengan Peraturan Pemerintah No.10 Th.2012 pada tanggal 9 Januari 2012. Beberapa poin yang ada dalam ketentuan ini diantaranya adalah sebagai berikut :
PEMASUKAN BARANG DARI LUAR DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS :
Pasal 14 PP No.10 Th.2012 :
Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan pembebasan Bea Masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut PPh Pasal 22 UU PPh, dan/atau pembebasan Cukai.
PEMASUKAN BARANG DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS : Pasal 17 Ayat (1) PP No.10 Th.2012 :
Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), tidak dipungut PPN.
Pasal 10 Ayat (1) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
Pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM.
Pasal 11 Ayat (1) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
Atas pemasukan BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2) wajib dibuatkan Faktur Pajak yang diisi lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Ayat (5) UU PPN.
Pasal 11 Ayat (6) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (4) harus diberi cap "PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 10 TAHUN 2012" oleh PKP yang melakukan penyerahan.
PENYERAHAN BARANG DI DALAM KAWASAN BEBAS :
Pasal 4 Ayat (2) PP No.10 Th.2012 :
Penyerahan barang di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
Pasal 4 Ayat (1) PP No.10 Th.2012 :
Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN :
Pasal 19 Ayat (1) PP No.10 Th.2012 :
Barang asal luar Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib dilunasi Bea Masuk, PPN, dan/atau PPh Pasal 22 UU PPh.
Pasal 19 Ayat (2) PP No.10 Th.2012 :
Barang asal Kawasan Bebas dan tempat lain dalam Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, wajib dilunasi PPN.
Pasal 2 Ayat (1) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
BKP yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean terutang PPN.
Pasal 2 Ayat (2) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
Dalam hal BKP sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan BKP yang tergolong mewah, atas pengeluaran BKP dimaksud terutang PPN dan PPnBM.
Pasal 2 Ayat (6) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
PPN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan PPN dan PPnBM sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) yang terutang harus dipungut dan disetor ke kas negara oleh orang yang mengeluarkan BKP melalui kantor pos atau bank persepsi yang ditunjuk oleh Menkeu, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
Pasal 2 Ayat (7) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
SSP sebagaimana dimaksud pada Ayat (6) diisi dengan cara :
a. Pada kolom nama dan kolom NPWP diisi dengan nama dan NPWP orang yang menerima BKP.
b. Pada kolom Wajib Pajak / penyetor dicantumkan juga nama dan NPWP orang yang mengeluarkan BKP.
Pasal 2 Ayat (9) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
SSP sebagaimana dimaksud pada Ayat (6) yang dilampiri dengan invoice dan pemberitahuan pabean merupakan dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Pasal 2 Ayat (10) Permenkeu No.62/PMK.03/2012 :
PPN yang telah dibayar dengan menggunakan SSP yang dilampiri dengan invoice dan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada Ayat (9), merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP yang menerima BKP sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Informasi lebih detail silahkan dilihat di :
Baca selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Agus Win pada 9:19 AM |
|
|
PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi, dobel pajak ? |
29 Mei 2013 |
Saya kan sudah dipotong pajak oleh perusahaan, kalau saya punya NPWP nanti apa tidak dobel bayar pajaknya ? Begitulah sebuah pertanyaan dari seorang teman yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Selain itu ada lagi yang bertanya, boleh tidak saya bayar pajak sendiri, tidak usah dipotong oleh perusahaan ? Pertanyaan ini adalah respon atas informasi dari saya mengenai kegiatan Ekstensifikasi Wajib Pajak yang sedang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak, khususnya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai karyawan. Dalam artikel ini kita akan membicarakan PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi khusus bagi kita yang berstatus sebagai karyawan. Dalam Pasal 2 Perdirjen Pajak No.PER-16/PJ/2007 diatur bahwa setiap Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham / pemilik dan pegawai dengan penghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) wajib mendaftarkan diri pada KPP (Kantor Pelayanan Pajak) dan kepadanya diberikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Pemotongan PPh Pasal 21 Sebagai karyawan yang memperoleh penghasilan dari perusahaan, tentunya gaji dan tunjangan kita akan dipotong pajak oleh perusahaan apabila jumlah penghasilan netonya melebihi PTKP. PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi subjek pajak dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU PPh. Pemotongan PPh Pasal 21 ini merupakan kewajiban perusahaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Ayat (1) UU No.7 Th.1983 tentang PPh sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.36 Th.2008 bahwa pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. Jadi perusahaan selaku Pemotong PPh Pasal 21 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 22 Ayat (4) Permenkeu No.252/PMK.03/2008. Oleh perusahaan, pajak ini disetorkan dengan menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak) ke kantor pos atau bank BUMN/BUMD, atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Dirjen Anggaran, paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Setelah menyetorkan pajak, perusahaan melaporkannya ke KPP dengan menggunakan SPT (Surat Pemberitahuan) Masa PPh Pasal 21 paling lama 20 hari setelah akhir Masa Pajak. SPT Masa PPh Pasal 21 tetap wajib dilaporkan oleh perusahaan ke KPP walaupun nilainya nihil. Di akhir tahun, perusahaan akan menyusun laporan SPT Masa PPh Pasal 21 (Formulir 1721) Masa Pajak Desember untuk dilaporkan ke KPP. Berdasarkan Pasal 23 Ayat (1) Perdirjen Pajak No.PER-31/PJ/2012, perusahaan sebagai pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap atau penerima pensiun berkala paling lama satu bulan setelah tahun kalender berakhir. Bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap atau penerima pensiun memakai Formulir 1721-A1, sedangkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi PNS, anggota TNI / Polri, pejabat negara dan pensiunannya memakai Formulir 1721-A2. PPh Orang Pribadi Nah, bagaimana dengan kewajiban karyawan yang telah memiliki NPWP ? Kita selaku Wajib Pajak Orang Pribadi juga wajib mengisi SPT, yaitu SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (Formulir 1770 S atau 1770 SS), dan menyampaikannya ke KPP tempat kita terdaftar, paling lama tiga bulan setelah akhir Tahun Pajak. Formulir 1770 SS dipergunakan oleh Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp 60.000.000,- setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali penghasilan bunga bank dan atau bunga koperasi. Di formulir sangat sederhana yang hanya 1 lembar ini, kita cukup mengisikan identitas, jumlah harta dan jumlah utang, dilampiri dengan fotokopi Formulir 1721-A1 atau 1721-A2. Formulir 1770 S dipergunakan oleh Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan dari satu atau lebih pemberi kerja, dari dalam negeri lainnya dan atau yang dikenakan PPh Final. Di formulir sederhana ini, kita masukkan angka penghasilan kita dan pengurang-pengurangnya, sampai didapatkan angka PPh Terutang. Setelah itu kita masukkan angka PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh perusahaan (lampirkan fotokopi Formulir 1721-A1 atau 1721-A2), dan angka ini akan mengurangi PPh Terutang, yang dalam dunia perpajakan diistilahkan dengan dikreditkan. Tentunya setelah dikurangi dengan kredit pajak angkanya akan klop, sehingga PPh yang kurang dibayar adalah nihil. Apakah ribet dan sulit mengisi formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang menggunakan Formulir 1770 S ? Sebenarnya kita hanya memindahkan angka-angka dari Formulir 1721-A1 atau 1721-A2, yang mana perusahaan telah menyusun angka-angka dan perhitungannya di situ. Sudah menjadi hak kita sebagai karyawan untuk meminta Formulir 1721-A1 atau 1721-A2 kepada perusahaan. Dan apabila masih menemui kesulitan dalam pengisian SPT, kita dapat meminta bimbingan dan konsultasi kepada petugas Account Representative (AR) yang ada di KPP tempat NPWP kita terdaftar, tentunya petugas akan memberikan pelayanan gratis tanpa memungut biaya apa pun. Menghitung PPh Pasal 21 Berapa besarnya pajak yang dipotong oleh perusahaan terhadap penghasilan karyawan ? Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, berikut ini langkah-langkahnya : Langkah 1 : Hitung jumlah Penghasilan Bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya. Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK) dan premi Jaminan Pemeliharaan Kecelakaan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan Penghasilan Bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai. Langkah 2 : Hitung jumlah Penghasilan Neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi Penghasilan Bruto sebulan dengan Biaya Jabatan, iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua (JHT), iuran Tunjangan Hari Tua (THT) yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan Penyelenggara Program Jamsostek. Besarnya Biaya Jabatan adalah adalah 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya sebagai berikut : | Perdirjen Pajak
No.PER-15/PJ/2006
(berlaku sebelum
01-01-2009) | Perdirjen Pajak
No.PER-31/PJ/2009
(berlaku mulai
01-01-2009) |
setahun | Rp 1.296.000,- | Rp 6.000.000,- |
sebulan | Rp 108.000,- | Rp 500.000,- |
Langkah 3 : Hitung Penghasilan Neto setahun, yaitu jumlah Penghasilan Neto sebulan dikalikan 12. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka Penghasilan Neto setahun dihitung dengan mengalikan Penghasilan Neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember. Langkah 4 : Hitung Penghasilan Kena Pajak, yaitu sebesar Penghasilan Neto setahun dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP adalah sebagai berikut : | Undang-Undang
No.36 Th.2008
(berlaku sebelum
01-01-2013) | Permenkeu
No.162/PMK.011/2012
(berlaku mulai
01-01-2013) |
untuk diri Wajib Pajak
Orang Pribadi | Rp 15.840.000,- | Rp 24.300.000,- |
tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin | Rp 1.320.000,- | Rp 2.025.000,- |
tambahan untuk seorang
istri yang penghasilannya
digabung dengan
penghasilan suami | Rp 15.840.000,- | Rp 24.300.000,- |
tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda
dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat,
yang menjadi tanggungan
sepenuhnya, paling banyak
3 (tiga) orang untuk
setiap keluarga | Rp 1.320.000,- | Rp 2.025.000,- |
Langkah 5 : Hitung PPh Terutang dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak. Tarif PPh Orang Pribadi adalah sebagai berikut : UU No.17 Th.2000
(berlaku sebelum 01-01-2009) |
Lapisan Penghasilan Kena Pajak | Tarif Pajak |
sampai dengan Rp 25.000.000,- | 5 % |
di atas Rp 25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,- | 10 % |
di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000,- | 15 % |
di atas Rp 100.000.000,- s.d. Rp 200.000.000,- | 25 % |
di atas Rp 200.000.000,- | 35 % |
UU No.36 Th.2008
(berlaku mulai 01-01-2009) |
Lapisan Penghasilan Kena Pajak | Tarif Pajak |
sampai dengan Rp 50.000.000,- | 5 % |
di atas Rp 50.000.000,- s.d. Rp 250.000.000,- | 15 % |
di atas Rp 250.000.000,- s.d. Rp 500.000.000,- | 25 % |
di atas Rp 500.000.000,- | 30 % |
Besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Hal ini diatur dalam Pasal 21 Ayat (5a) UU No.36 Th.2008. Langkah 6 : Hitung PPh Pasal 21 sebulan, inilah yang harus dipotong dan atau disetor ke Kas Negara, yaitu sebesar jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi dengan 12. Menghitung PPh Orang Pribadi Bagaimana kita mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang menggunakan Formulir 1770 S nanti ? Penghitungan PPh Pasal 21 di atas dituangkan oleh perusahaan ke dalam Formulir 1721-A1 atau 1721-A2. Dengan berbekal satu lembar Formulir 1721-A1 atau 1721-A2 yang kita peroleh dari perusahaan, kita menyusun SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dengan Formulir 1770 S dengan langkah-langkahnya sebagai berikut : Langkah 1 : Isilah Lampiran I Formulir 1770 S, terutama di Bagian C, yaitu daftar pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak lain. Isikan nama dan NPWP perusahaan kita selaku Pemotong Pajak, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong, dan data pelengkap lainnya. Langkah 2 : Isilah Lampiran II Formulir 1770 S, terutama di Bagian B dan C, yaitu daftar harta dan kewajiban / utang. Langkah 3 : Isilah halaman depan (Induk SPT) Formulir 1770 S, angka-angka yang diisikan diambil dari Formulir 1721-A1. Ada kesulitan ? Apabila kita memerlukan bimbingan dan konsultasi masalah perpajakan, jangan segan-segan menghubungi petugas pajak yang telah ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk menjadi Account Representative (AR) bagi kita. Pelayanan perpajakan akan diberikan secara gratis, tanpa dipungut biaya.
Informasi peraturan lebih detail silahkan dilihat di :
Baca selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Agus Win pada 10:32 AM |
|
|
PPh Pasal 21 pegawai yang masuk kerja bukan sejak awal tahun |
28 Mei 2013 |
Ada karyawan perusahaan saya yang baru mulai masuk kerja bulan ini. Bagaimana cara menghitung pajak yang harus kami potong ? Apakah sama dengan karyawan lainnya yang sejak awal tahun sudah bekerja di perusahaan saya ? Begitulah sebuah pertanyaan yang timbul dari hasil diskusi saya dengan seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Dalam Pasal 14 Ayat (4) Perdirjen Pajak No.PER-31/PJ/2012 diatur bahwa dalam hal kewajiban pajak subjektif pegawai tetap terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah bulan Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja. Berapa besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong oleh perusahaan terhadap penghasilan pegawai tetap dengan kasus seperti itu ? Berikut ini langkah-langkahnya : Langkah 1 : Hitung jumlah Penghasilan Bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya. Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian (JK) dan premi Jaminan Pemeliharaan Kecelakaan (JPK) yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal 21, premi tersebut digabungkan dengan Penghasilan Bruto yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai. Langkah 2 : Hitung jumlah Penghasilan Neto sebulan yang diperoleh dengan cara mengurangi Penghasilan Bruto sebulan dengan Biaya Jabatan, iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua (JHT), iuran Tunjangan Hari Tua (THT) yang dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan Penyelenggara Program Jamsostek. Besarnya Biaya Jabatan adalah 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,- sebulan. Langkah 3 : Hitung Penghasilan Neto setahun. Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari, maka Penghasilan Neto setahun dihitung dengan mengalikan Penghasilan Neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember. Langkah 4 : Hitung Penghasilan Kena Pajak, yaitu sebesar Penghasilan Neto setahun dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi adalah Rp 24.300.000,- dengan tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp 2.025.000,- dan tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga adalah Rp 2.025.000,- Langkah 5 : Hitung PPh Terutang dengan menerapkan tarif Pasal 17 UU PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 50.000.000,- tarif pajaknya adalah 5%. Tarif pajak ini progresif hingga maksimal 30%. Besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Langkah 6 : Hitung PPh Pasal 21 sebulan, inilah yang harus dipotong dan atau disetor ke Kas Negara, yaitu sebesar jumlah PPh Pasal 21 setahun dibagi dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember.
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal tahun kalender tetapi baru bekerja pada pertengahan tahun : Budiyanta bekerja pada PT Xiang Malam sebagai pegawai tetap sejak 1 September 2013. Budiyanta menikah tetapi belum punya anak. Gaji sebulan adalah sebesar Rp 8.000.000,00 dan iuran pensiun yang dibayar tiap bulan sebesar Rp 150.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 tahun 2013 adalah sebagai berikut : Gaji sebulan = Rp 8.000.000,00 Pengurangan :
1. Biaya Jabatan = 5% x Rp 8.000.000,00 = Rp 400.000,00
2. Iuran Pensiun = Rp 150.000,00
Total pengurangan = Rp 550.000,00 Penghasilan neto sebulan = Rp 8.000.000,00 - Rp 550.000,00 = Rp 7.450.000,00 Penghasilan neto setahun = 4 x Rp 7.450.000,00 = Rp 29.800.000,00 PTKP :
1. Untuk WP sendiri = Rp 24.300.000,00
2. Tambahan WP kawin = Rp 2.025.000,00
Total PTKP = Rp 26.325.000,00 Penghasilan Kena Pajak setahun = Rp 29.800.000,00 - Rp 26.325.000,00 = Rp 3.475.000,00 PPh Pasal 21 terutang = 5% x Rp 3.475.000,00 = Rp 173.750,00 PPh Pasal 21 sebulan = Rp 173.750,00 : 4 = Rp 43.438,00
Informasi peraturan lebih detail silahkan dilihat di :
Baca selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Agus Win pada 11:05 AM |
|
|
| |